RASAKAN SENSASI BERMAIN DI AGEN POKER DOMINO ONLINE UANG ASLI INDONESIA DENGAN MINIMAL DEPOSIT RP 10.000 & MINIMAL WITHDRAW RP 30.000 BONUS TURN OVER 0.5% BONUS REFFERAL 20% HANYA DI WWW.JAWADOMINO.NET

Rabu, 03 April 2019

Belajar Empati dari Bocah Palestina yang Kepalanya Ditodong Senjata

Belajar Empati dari Bocah Palestina yang Kepalanya Ditodong Senjata


AGEN CASINO ONLINE

Sebagai seorang aktor dan pencerita saya selalu merasa saya orang yang penuh simpati. Dan itu adalah sebuah kebanggaan. Tapi beberapa tahun lalu saya menyadari simpati saya itu tidak ada gunanya.

Demikianlah seorang aktor keturunan Arab muslim dan Yahudi bernama Tariq Jordan menulis bagian awal pengalamannya di laman the Guardian, kemarin.

Rasa simpati itu benar-benar tidak ada gunanya sama sekali, kata dia. Simpati yang saya punya membuat saya hanya jadi penonton di tengah perjuangan manusia dalam hidup. Bagi orang lain, simpati itu hanya ada gunanya sedikit. Yang saya butuhkan adalah kembali merasakan apa yang sudah lama saya lupakan: empati.

2014. Saya sedang dalam perjalanan naik bus di Tepi Barat, Palestina. Saya duduk dengan sekitar 30 bocah Palestina. Perjalanan itu penuh musik dan tarian. Saya terhanyut di dalamnya karena hampir mustahil saya tidak ikut menikmatinya. Itulah yang dinamakan empati. Merasakan apa yang dirasa orang lain dan bukan untuk mereka. Tapi di sepanjang perjalanan, empati itu berubah menjadi simpati dalam waktu sesaat. Bus yang kami tumpangi harus melewati pos pemeriksaan tentara Israel. Sopir bus kami ditodong senjata dan dia dipaksa menghentikan bus sampai-sampai beberapa bocah terjatuh di dalam bus. Ketika kami berusaha duduk kembali ke kursi, saya buru-buru duduk di samping seorang bocah Palestina berusia 13 tahun.

Salah satu dari tentara itu masuk ke bus dan dengan berteriak dia meminta kami memperlihatkan identitas dan surat izin. Ketika kami menunduk dalam diam sambil menatap ujung moncong senjata si tentara, bocah di samping saya meminta saya tetap tenang dan dia menanyakan apakah saya baik-baik saja. Saya hanya mengangguk perlahan. Dia tersenyum dan berkata: "Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja." Sesaat kemudian saya merasa malu. Malu karena seorang pria berusia 30 tahun harus ditenangkan oleh seorang bocah.

Tentara itu mulai berjalan mendekat dan kala itu saya merasa perlu untuk merasa baik-baik saja. Apa yang saya lakukan? Saya merasakan simpati. Saya merasakan bocah ini duduk di samping saya. Saya mengingatkan diri sendiri, tidak seorang bocah pun seharusnya menatap ujung moncong senjata sambil menunduk. Saya ingatkan diri bahwa semua ini salah. Dan akhirnya saya mengingatkan diri bahwa simpati saja tidak berbuat apa-apa untuk bocah 13 tahun di samping saya.

Bocah itu lalu menatap saya lagi dan memperhatikan bagaimana gugupnya saya dalam situasi itu. "Senyum, itu akan membantu!" kata dia sebelum bertanya soal paspor saya. di pikiran saya bahkan saya tidak bertanya buat apa menyerahkan paspor itu ke anak berusia 13 tahun. Dia lalu menaruh paspor itu di pangkuan saya dan mengatakan sesuatu yang membuat rasa simpati saya sia-sia. "Ini batu Kryptonite, ingatlah itu." Tentara tadi tiba di samping kursi dan menodongkan senjata ke wajah bocah itu. Wajah si bocah terlihat tegar, sesuatu yang saya tidak tahu raut muka seperti itu bisa dimiliki seorang bocah. Tentara itu kemudian memeriksa paspor saya dan setelah itu dia berlalu. Kryptonite.

Saya kerap teringat kepada bocah itu setiap kali saya melihat berita tentang kekacauan yang terjadi kawasan Timur Tengah. Yang saya ingat adalah: Saya berharap dia masih tersenyum. Saya berterima kasih kepada bocah itu, bukan hanya karena sudah membantu meraih rasa empati tapi juga mengajarkan apa artinya. Empati adalah kemampuan untuk tidak mematikan tayangan berita atau meletakkan surat kabar ketika penderitaan manusia begitu nyata. Empati bukanlah duduk di ruang politik di mana pun dan hanya berceloteh tanpa berbuat. Empati bukanlah menutup mata atas kehancuran yang dialami anak-anak yang tak berdosa, baik itu mereka yang tinggal di Gaza, dibombardir serangan udara, atau bocah Israel yang rumahnya masuk dalam jangkauan roket Hamas. Empati memaksa para pemimpin dunia bukan hanya mengutuk kejadian semacam itu dengan rasa simpati yang dangkal, tapi mengambil tindakan untuk menyelamatkan anak-anak kita.

Bocah 13 tahun itu memilih untuk ikut merasakan apa yang saya rasakan, bukan untuk saya. Dan itu membuat saya mengaku merasa malu: saya tidak punya kemampuan itu sebagai orang dewasa. Tapi terkadang mungkin kita memang perlu dipermalukan. Karena jika seorang bocah sudah mencapai kemampuan itu, maka kita sebagai orang dewasa harus mendidik diri kita sendiri. Anak-anak memperlihatkan empati dengan menempatkan diri mereka dalam perjuangan sesama dan untuk mencari jalan keluar bersama. Anak-anak menyadari bahwa empati mendorong kita berbuat hal positif, sedangkan simpati tidak.

0 komentar:

Posting Komentar